Ayah Dan Sepeda Tuanya

Aku mulai hari ku dengan mandi pagi di kamar mandi berbatas seng tanpa atap, dengan sebuah ember dan gayung. Aku rasakan kenyaman mandi disana, tak jarang teman ku sering mengintip ku saat mandi. Aku terlahir tanpa sempat melihat Ibuku, kata Ayah ku saat itu Ibu mengandungku dalam keadaan sakit, Ayah tidak mau memberi tau ku apa penyakitnya, sampai sekarang. Dikala aku mulai berteman dengan mereka yang memiliki keluarga lengkap dan kehidupan mereka yang enak menurutku, yah layak dan nyaman. Aku tidak pantas untuk membayangkan kehidupan seperti mereka. 

Diary Adam, Sepeda Tua, Ayah
Ilustrasi diambil dari wisataseru.com

Ayah, adalah satu-satunya malaikat yang aku punya sekarang, dengan segala keterbatasan kami dia masih tetap gagah menurutku. Mulai aku kecil aku sudah dirawatnya, layaknya seorang ibu, ayah mampu mengurusku dengan kebesaran dan kesabaran hatinya. Aku tidak tau pekerjaan ayahku, setiap kali aku bertanya dia tak pernah memberi tahu ku, dia menyuruhku apabila ibu guru bertanya tentang pekerjaan ayah, aku harus menjawab wiraswasta, dan aku juga tidak tau apa itu. Setiap hari ayah hanya menyiapkan ku sarapan dan mengantarkan ku ke sekolah, sekolahku berada sekitar 3 KM dari rumahku, ya lumayan jauh. Ayah selalu siap dengan sepedanya, tak jelas nama sepedanya, karena badan sepedanya penuh dengan karat, dan catnya mulai mengelupas. Sepeda ini lah sebagai alat transportasiku ke sekolah, dengan Ayah dan kaki kuatnya, aku tidak tau sejak kapan sepeda itu ada, yang ku tau selama aku bersekolah, sepeda itu yang mengantarkan ku. Setelah mengantarkan ku kesekolah, Ayah selalu bergegas dan buru-buru pergi berkerja katanya. Sulit di percaya memang, seorang wiraswasta berangkat bekerja hanya dengan sepeda tua itu, tapi ayah selalu kuat untuk mengayuh sepeda itu. Ayah berkerja selalu membawa sebuah helm proyek berwarna kuning, seragam kebanggannya berwarna biru muda, celana biru tua, dan sepatu hitam besarnya.


Aku ingat waktu itu hari jum'at satu hari sebelum Idul Fitri, ada santunan anak yatim/piatu, aku diberi surat oleh guruku, yah aku tidak tau mengenai itu. Dirumah aku memberi surat itu kepada ayahku, kata ayahku " Tak usah, kita tak perlu disantuni, Ayah masih sanggup membiayai mu nak "  , aku hanya meng-iyakan dan menganggukkan kepala ku padanya. Acaranya tepat jam 3 sore, acaranya berisi ceramah, pengajian, makan bersama, dan ditutup santunan dan maaf-maafan. Aku duduk di baris ke 3 dari depan. Saat itu namaku di panggil oleh pembawa acara saat itu, aku hanya menunduk dan pura-pura tidak mendengar, Semua mata tertuju padaku, dan aku mulai bingung harus bagaimana, aku ingat kata ayah, kita tidak usah disantuni, namun guruku datang dan membisikkan satu kata kepadaku "ayo nak!" . Aku tidak bisa menolak, dan aku pun maju ke atas panggung itu. Ada beberapa orang teman-teman ku di atas panggung, aku tidak tahu apa yag mereka rasakan, tapi dari wajah mereka tampak biasa saja. Berbeda dengan ku yang takut dan gugup di atas panggung itu. Au diberi amplop oleh guru-guru dan ustadz yang ada waktu itu, aku masih tidak paham tentang apa artinya itu, dan aku juga tidak tahu apa isi amplop itu.

Ayahku menjemputku saat itu, dengan keringat yang membasahi bajunya waktu itu, membuat dia kelihatan tampak lelah. Aku menghampiri ayahku, aku menceritakan semua yang terjadi di acara tadi saat kami berjalan pulang. Wajah ayah seketika berubah, aku yang saat itu duduk di atas badan sepeda itu melihat wajahnya yang mulai mengerut marah. Sepanjang kami berjalan wajah ayah selalu begitu, sambil beberapa kali mulutnya mengeuarkan suara yang tak tau apa yang dia bicarakan.

Sampai dirumah aku mmberikan amplop itu kepada ayah, namun ayah menolaknya, lalu meninggalkan ku sendiri di kamar, aku masih bingung, kenapa ayah arah, lalu aku sobek sedikit amplop itu, ku lihat isinya. Padahal isinya hanya uang Rp 50.000-a dua lembar. Aku bingung kenapa Ayah menolaknya. Aku keluar dari kamar, dan memanggil ayah, "ayah,,,ayah,," kataku sambil sedikit berteriak, namun, tak ada jawaban dari ayah. Aku melihat keluar, sepeda ayah pun tak ada. Aku bingung saat itu, ayah pergi kemana. Sekarang aku sendirian dirumah, di depan pintu aku menunggu ayah pulang. Tiba-tiba...

Aku sudah berada di kamarku, tak sadarku aku teridur tadi, dan kulihat ada ayah sedang bersujud diatas sejadahnya, aku bersembunyi di balik pintu kamar ku yang penuh rayap. Aku melihat ayah bangkit dari sujudnya dengan air yang keluar dari matanya. Aku mencoba untuk mendengar doa ayah, yang dia ucapkan dengan lembut dan halus, yang kudengar hanya " Ya Allah,,," . begitu terus, tanpa tau kelanjutannya apa, aku datangi ayah, sambil memeluknya dari belakang. Dia mencium ku dan memelukku, "ayah kenapa? ". kataku halus, sambil mengelus pipi ayah yang sudah basah. 

Keesokan harinya, aku di ajak oleh guruku untuk berjalan santai sambil olah raga di sekitaran sekolah ku, hal ini biasa terjadi. Tapi tak sengaja hari itu aku melihat seorang pria di kejauhan, dengan sepedanya, yang ku kira sepeda itu mirip seperti milik ayah, aku memperhatikan pria itu, tak jelas memang, karena dia lumayan jauh, saat itu aku melihat dia berputar-putar di sekitaran beberapa bangunan yang belum jadi. Di setiap bangunan itu dia berhenti dan masuk kedalam, namun dia keluar lagi, begitu seterusnya. Aku heran apa yang dia lakukan. "krriiiiiingggggg...". Bel sekolah berbunyi, dan ibu guru langsung menyuruh kami untuk masuk ke sekolah. 

Ayah selalu menjemputku tepat waktu, dia sudah menungguku di bangku kayu depan sekolah dekat pos satpam. Dia tersenyum melihat ku, dia menghampiriku dan mengambil tas punggungku, dan dia memakainya, biasa terjadi seperti itu, saat itu dan aku pulang melewati pintu masuk jalan tol, tak biasa saat itu jalan itu macet dan ramai sekali, saat itu aku dan ayah, ada di barisan terdepan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, namun, saat itu aku terkejut, aku dan ayah di serempet oleh salah satu pengendara motor yang memacu kendaraannya lebih cepat ketika lampu belum berubah hijau. Kami pun tejatuh, Pengendara tadi lari tidak tahu kemana perginya. ayah memelukku saat jatuh, sehingga aku tidak terluka sama sekali, yang kulihat saat itu tangan dan kaki ayah luka karena terkena gesekan aspal. Dia masih memelukku, kuihat juga sepeda tuanya itu sudah bengkok, dan beberapa ada yang patah. Saat itu tak ada satupun yang membantu kami, aku dan ayah pulang dengan ayah menyeret sepeda tuanya yang tidak bisa digunakan lagi, dengan kaki yang luka, ayah sedikit tertatih membawa sepeda tersebut.

Dirumah Ayah hanya duduk sambil membersihkan lukanya, dan aku tak tahu harus ngapain. Ayah hanya menatap sepedanya yang rusak itu. ntah apa yang ada dipikirkan oleh ayah, tapi yang jelas dia merasa bingung, semua kegiatannya bergantung pada sepeda.

------------------------------------------------------ Bersambung.
Copyright 2016 @adamaprianto

4 komentar

dikiiit lagi.. tinggal ngembangin bahasanya aja, nambah bendahara kata. keep moving forward!

Reply

iyaaaa, hihihi :) terimakasiih guru :D

Reply

Mantap! Lanjutkan masadaw

Reply

haha, terima kasih dedi :)

Reply

Post a Comment

Silahkan berkomentar, Tapi tidak SARA/SPAM.